BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qadha
dan Qadar merupakan rukun iman yang ke enam. Kita umat muslim harus benar-benar
meyakininya, artinya setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai niat
dan keyakinan sungguh-sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja maupun
tidak telah diteapkan oleh Allah SWT.[1]
Pembicaraan mengenai qadha dan qadar
merupakan suatu bahan diskusi yang tidak akan pernah selesai atau habis untuk
dibahas oleh banyak kalangan dan juga tidak akan pernah ada suatu kesepakatan.
Dalam persoalan qadha dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan
yaitu golongan Jabbariyah dan golongan Qadariyah. Dan dalam makalah ini yang
menjadi pokok pembahasan adalah takdir menurut golongan Qadariyah. Dari
pembahasan makalah ini diharapkan kita semua bisa mendapatkan pemahaman yang
bisa meningkatkan kadar keimanan kita kepada Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1.
Sebutkan definisi Qadha dan Qadar dari
berbagai segi?
2.
Apa saja ruang lingkup Qadha dan Qadar?
3.
Bagaimanakah takdir menurut Qadariyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Qadha dan Qadar
1.
Secara etimologi, qadha memiliki arti
yaitu sebagai berikut:
a.
Pemutusan, kita bisa temukan pengertian
ini pada firman Allah:
“(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan
sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah
(2): 117]
b.
Perintah, kita bisa temukan pengertian
ini pada firman Allah:
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
c.
Pemberitaan, bisa kita temukan dalam
ayat:
“Dan
telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam
az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua
pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….”
(An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78).
Adapun
qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara,
yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat
dalam ayat Allah berikut ini:
“Dan dia
menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya
dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat
masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”
[QS. Fushshilat (41): 10].
2. Dari
sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan
oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang
sesuai dengan penetapan (qadha).[2]
3.
Menurut Ulama Mutakallimin
a.
Golongan Asy’ariyah
Qadha adalah iradah
Allah dalam azalnya berhubungan dengan segala hal dan keadaan, kebaikan atau
keburukannya keadaan mana yamg sesuai dengan apa yang akan diciptakan Allah
yang tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan Qadar
adalah “mewujudkannya Allah” terhadap semua makhluk dalam bentuk tertentu, baik
mengenai zat ataupun sifatnya dimana keadaan itu sesuai dengan iradah Allah.
b.
Golongan Maturidiyah
Qadha adalah mewujudkannya
Allah terhadap sesuatu dengan serapi-rapinya dan sebaik-baiknya. Sedangkan
Qadar adalah ilmu Allah tentang azalnya tentang akan terjadinya segala sesuatu
dalam bentuk dan keadaan yang tidak akan menyimpang dari ilmu Allah tersebut.
c.
Golongan Mu’tazilah (Qadariyah)
Dalam memahami qadha
dan qadar mereka memahami bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai
subyek yang dapat menentukan perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan
ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak menghendaki adanya kemaksiatan dan
kejahatan.
d.
Ahli filsafat
Qadha ialah ilmu Allah
terhadap segala sesuatu, bagaimana seharusnya keadaan sesuatu itu terwujud
dalam sebaik-baik bentuk dan sistem. Sedangkan Qadar adalah terbuktinya semua
kejadian dan makhluk di alam sehingga benar-benar wujud, lengkap dengan
sebab-sebabya serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh qadha Allah.[3]
B.
Ruang
Lingkup Qadha dan Qadar
Dalam
membahas Qadha dan Qadar, kita juga merasa perlu untuk membahas pula apa itu
takdir dan juga nasib, apakah keduanya ini sama-sama dalam pendefinisian qadha
dan qadar. Ataukah memiliki keterkaitan atau juga mungkin malah saling
kontradiksi.
Jadi
secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha merupakan hukum yang
ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala tentang apa-apa yang akan
terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang dan merencanakan
sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan yang
semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.[4]
Dari
pengertian di atas, maka antara qadha dan qadar itu tidak terlalu berbeda,
malah bisa dikatakan satu arti. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan hadis Nabi
Muhammad, dimana penuturan qadha dan qadar bersama-sama dan kadang hanya
menuturkan qadar saja, umpamanya:
Artinya:
Ilmu Allah Ta’ala dalam azalnya yang
meliputi segala apa yang akan terjadi dan yang berhubungan dengan itu, dan yang
sekiranya terjadi kelak pasti sesuai dengan apa yang telah diketahui dan yang
telah ditentukan sejak semula oleh Allah.
Berikutnya akan dijelaskan tentang takdir dan nasib
1) Istilah
takdir dapat kita temukan dalam Al-Quran surat al-Ra’d ayat 8:
Artnya:
Jadi kata Miqdarun dan taqdirun
seolah merupakan dua kata yang berbeda namun tersusun dari kata yang sama
yaitu Qa-da-ra.yang artinya adalah rancangan.
Jadi disini Allah telah menyatakan
bahwa segala sesuatu adalah mempunyai rancangan masing-masing. Dan nanti akan
dibuktikan juga dengan hadist yang mengatakan ”fil azali la syai’in illahi
Azawajalla, tsumma khalaqal Maqadira” (Pada mulanya tidak
ada apapun kecuali Allah dengan segala ilmunya, selanjutnya (dengan ilmunya
itu) Allah membuat rancang bangun segala)
2) Sementara
nasib dapat kita jumpai pada al-Quran surat al-Nisa’ ayat 51:
Artinya:
Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa
kita mestinya dapat melihat akibat dari orang yang percaya dengan jibti dan thaagut, mereka akan menemukan nasib sial. Jadi nasib
adalah akibat dari pilihan hidup yang akan memastikan pada nasib baik (hidup
dengan selain jibti dan taaghut) atau dari pilihan hidup
yang akan memastikan pada nasib sial (dengan pilihan jibti dan thaaghut).
Dapat disimpulkan bahwa
segala sesuatu itu tergantung rancangan masing-masing. Jadi takdir berdasarkan
Quran maupun hadis diatas berarti adalah suatu rancangan. Bahasa kerennya
adalah Blue print. Allah sendiri dalam
menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang kemudian membuat
rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif. (Thummakhalaqal maqaadir, thumma khalaqal maa) Pada penciptaan
ini, Allah telah mengajarkan dengan menciptakan dari yang baik atau
rancangan yang baik maka begitu juga kita sebagai manusia harus mengawali
sesuatu itu dengan yang baik. (”ma
khalaqta hadza batilan, tidak Aku ciptakan dari sesuatu yang batil).
Setelah kita menyadari
bahwa sesuatu itu mempunyai rancangan (yang baik maupun yang buruk) maka Tugas
Allah adalah sebagai Hakimun, yaitu
Hakim penentu yang tidak pernah salah atas segala usaha yang dilakukan oleh Makhluq-Nya. Keputusan Allah ini tidak
bisa diganggu gugat. Allah sebagai Penentu, dan manusia tinggal memilih
rancangan mana yang mau diambil. Kalau manusia telah memilih mana rancangan
yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan
mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan
atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah
atas pilihan yang diusahakannya.[5]
Sementara itu dalam buku
Mengubah Takdir karya Agus Mustofa, disebutkan takdir bukanlah nasib. Takdir
adalah takdir, yang ditetapkan Allah berdasarkan usaha kita. Maka tujuan
diajarkannya konsep takdir adalah agar kita profesional dalam menyikapi akibat
perbuatan kita. Agar tidak gembira berlebuhan ketika mendapat rahmat. Dan agar
tidak putus asa ketika gagal. Jadi tipikal orang yang mempercayai takdir adalah
orang-orang yang menyeimbangkan kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi
secara simultan.
C.
Takdir
Menurut Qadariyah
Kata
Qadariyah berasal qadara yang berarti
berkuasa. Maksud berkuasa adalah mempunyai kekuasaan (qudrat). Tuhan disebut Qadir
karena Dia mempunyai qudrat yang
sangat besar dan dahsyat. Manusia bisa berbuat karena dalam dirinya juga
terdapat qudrat.[6] Adapun
menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya
bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini
berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya;
ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri,
berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk
nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan. Dalam hal ini, Harun
Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus
tunduk pada qadar Tuhan.[7]
Adapun
doktrin yang dikembangkan oleh kaum Qadariyah ini diantaranya:
1.
Manusia mempunyai daya dan kekuatan
untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan
buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan
melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
2.
Faham takdir dalam pandang Qadariyah
bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu,
yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih
dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang
telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir
itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh
isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.[8]
3.
Secara alamiah manusia mempunyai takdir
yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk
terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya
kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau
mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.[9]
Jadi,
secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa takdir itu
tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia
berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada dirinya sendiri,
barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri, serta siapa
yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang
mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu
kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kehendak Tuhan.[10]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
a.
Definisi Qadha dan Qadar
Secara etimologi, qadha berarti pemutusan, perintah, dan
pemberitaan. Sedangkan qadar berarti penentuan. Sedangkan secara terminologi,
qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada
zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan
penetapan (qadha).
Sedangkan menurut ulama mutakallimin, dalam hal ini golongan
Mu’tazilah (Qadariyah), yaitu dalam memahami qadha dan qadar mereka memahami
bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai subyek yang dapat menentukan
perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak
menghendaki adanya kemaksiatan dan kejahatan.
b.
Ruang lingkup dalam membahas qadha dan
qadar maka dirasa perlu untuk juga menjelaskan takdir dan nasib.
Jadi secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha
merupakan hukum yang ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala
tentang apa-apa yang akan terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang
dan merencanakan sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan
yang semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.
Sedangkan takdir, berdasarkan Quran maupun hadis
berarti suatu rancangan. Bahasa kerennya adalah Blue print.
Allah sendiri dalam menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang
kemudian membuat rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif.
Dan nasib adalah ketika manusia telah memilih mana
rancangan yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan
mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan
atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah
atas pilihan yang diusahakannya.
c.
Takdir menurut Qadariyah
Secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang
berpendapat bahwa takdir itu tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada
diri sendiri. Jika ia berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada
dirinya sendiri, barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri,
serta siapa yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang
mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu
kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kehendak Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya
Al-Jauziyah,Ibnu Qayyim. 2006. Qadha
dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, Jakarta: Pustaka Azzam
Zainuddin, H. 1996. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka
Cipta
[5] http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/rakhma/2010/02/07/nasib-dan-taqdir/
diakses pada tanggal 31 Oktober 2010
[9] http://khofif.wordpress.com/2010/06/15/faham-qadariyah/diakses
pada tanggal 31 Oktober 2010
terimakasih sudah sharing, jangan lupa kunjungi Visit Us
BalasHapusLucky Club Casino Site Review
BalasHapusLucky Club Casino is a licensed gambling luckyclub.live operator. The casino offers a large number of casino games and sports bets. The site has an average Rating: 5 · Review by LuckyClub.me