Selasa, 01 Mei 2012

AL-HALLAJ


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Konsep al-hulul dalam ranah tasawuf merupakan suatu ajaran dimana Tuhan mengambil tempat pada manusia tertentu yang dipilih-Nya. Sementara dalam pandangan manusia awam yang tidak mengetahui dan mengenal tasawuf mungkin akan mengira konsep al-hulul, ittihad dan lain sebagainya adalah bentuk penyimpangan dari ajaran agama Islam dan sangat membahayakan umat Islam.
            Tetapi dalam konteks pendidikan khususnya ilmu tasawuf, maka ajaran al-hulul, ittihad, mahabbah, ma’rifat  dan sebagainya merupakan suatu sarana agar bisa ber-taqarrub ila Allah. Dan dalam makalah ini yang menjadi pokok pembahasan adalah paham al-hulul yang diajarkan oleh Al-Hallaj. Dari pembahasan makalah ini diharapkan penulis dan pembaca bisa mendapatkan pemahaman yang bisa meningkatkan keilmuawan kita mengenai ajaran dalam tasawuf khususnya al-hulul.

B.     Rumusan Masalah
1.         Bagaimanakah biografi Al-Hallaj?
2.         Bagaimanakah konsep ajaran al-hulul yang disampaikan Al-Hallaj?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    BIOGRAFI AL-HALLAJ
            Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
            Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H/858M. kakeknya, Muhammad seorang penyembah api pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang mengatakan, al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.[1]
            Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walaupun ia ditolak oleh sejumlah sufi, namun ia diterima oleh para sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat.
           
B.     AJARAN AL-HALLAJ
            Intisari ajaran tasawuf al-Hallaj yang kadang dinyatakan dalam bentuk syair dan kadang berupa nasr dengan kata-kata yang dalam meliputi tiga persoalan pokok, yaitu hulul, haqiqah muhammadiyah dan wahdah al-adyan. Tetapi dalam makalah ini lebih difokuskan pada konsep hulul.
            Menurut etimologi, kata al-hulul adalah bentuk masdar dari fi’il: hall-yahull-hulûl yang berarti “bertempat di” atau “tinggal di”. Sedangkan kata adalah isim al-makan dari kata la di atas. Berarti tempat yang ditempati. Dikaitkan dengan konsep al-hulul di atas, maka tubuh manusia dapat disebut mahall.
            Adapun menurut terminologi, al-hulul adalah ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaannya yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.
            Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun menurutnya, mempunyai sifat kemanusiaan disamping sifat ketuhanan-Nya. Dengan dasar inilah maka persatuan antara Tauhan dengan manusia bisa saja terjadi. Dan persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj disebut dengan al-hulul (mengambil tempat).
            Paham al-Hallaj di atas didasari oleh konsep penciptaan Adam. Menurutnya, sebelum Tuhan menciptakan makhluk-Nya. Dia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam kesendiriannya itu terjadi dialog antara Dia dengan diri-Nya sendiri, dialog yang di dalamnya tidak ada kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihatnya hanyalah kemuliaan dan ketinggian Zat-Nya. Dan Dia pun cinta terhadap Zat-Nya itu. Cinta yang tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab dari segala yang ada (makhluk-Nya). Kemudian Dia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk diri-Nya dan bentuk itu adalah Adam. Maka pada diri Adamlah, Tuhan muncul dalam bentuk-Nya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan.[2]
            Menurut al-Hallaj, Allah mempunyai dua sifat dasar, yaitu sifat ketuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Demikian pula manusia, disamping mempunyai sifat kemanusiaan (nasut), juga memiliki sifat ketuhanan (lahut) dalam dirinya. Paham al-Hallaj ini dapat pula dilihat dalam tafsirannya mengenai kejadian Adam (al-Quran surat al-Baqarah ayat 34) yang artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dengan takabur; dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
            Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah copy Tuhan. Paham ini berpangkal dari sebuah hadis yang berpengaruh sangat besar atas sufi: “sesungguhnya Allah menciptakan adam sesuai dengan bentuk-Nya.”
            Paham al-Hallaj ini lebih jelas kelihatan dalam gubahan syairnya:
Maha Suci Zat yang menyatakan nasut-Nya
dengan lahut-Nya, yang cemerlang seiring bersama
lalu dalam makhluk-Nya pun tampak nyata
bagai si peminim dan si pemakan  tampak sosok-Nya
hingga semua makhluknya melihat-Nya
bagaikan bertemunyadua kelopak mata
                        Dengan demikian menurut paham tasawuf  al-Hallaj dalam diri manusia terdapat   sifat ketuhanan, dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Karena itu persatuan       antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi; dan persatuan itu mengambil bentuk hulul.
                        Dalam suatu sumber yang lain, disebutkan bahwa Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang. Hulûl Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulûl Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental dan permanen.[3]
                        Agar manusia dapat bersatu, ia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan melalui fana’. Kalau sifat-sifat kemanusiaan itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat ketuhanan dalam dirinya, di situlah baru Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan dan ketika itu ruh Tuhan dan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Dalam sebuah gubahan syair al-Hallaj mengungkapkan:
            Pada saat ruh-Mu dengan ruhku jadi satu
            Bagai khamar dan air bening terpadu satu
            Dan jika sesuatu menyentuh-Mu, tersentuhlah aku
            Karena itu Kau, dalam segala hal, adalah aku”
                        Nada-nada serupa juga dapat dilihat dari lirik syairnya sebagai berikut:
            aku yang kucinta
            Dan yang kucinta aku pula
            Kami dua jiwa padu jadi satu
            Dan jika kau lihat aku
            Tampak pula Dia dalam pandanganmu
            Dan jika kau lihat Dia
            Kami, dalam pandanganmu tampak nyata
                        Lebih jelas lagi dapat dilihat dari bait-bait syairnya di bawah ini:
            Kau antara kalbu dan denyutku, berlaku
            Bagaikan air mata menetes dari kelopakku
            Bisik-Mu pun tinggal dalam relung kalbuku
            Bagaikan ruh yang hulul dalam tubuh jadi satu
                        Dari ungkapan-ungkapan yang tertuang dalam gubahan syair di atas tampak jelas bahwa al-Hallaj membawa konsep hulul. Yang dimaksud dengan hulul di situ, ialah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemnausiaan. Atau dengan kata lain, sesuai dengan  terminologi yang dipergunakannya, hulul-nya lahut dalam nasut. Juga, menurut al-Hallaj, pada hulul itu terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya”.
                        Dengan cara inilah, menurut al-Hallaj seorang sufi bisa bersatu dengan Tuhan. Jadi ketika al-Hallaj berkata: Ana al-haq (aku adalah Tuhan) bukanlah ruh al-Hallaj mengucapkan kata itu, tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Dengan kata lain, bahwa al-Hallaj sebenarnya tidak mengaku dirinya Tuhan. Hal ini pernah pula dia tegas: “aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, Aku hanya dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
                        Dalam kesempatan lain, penegasannya terhadap adanya perpaduan, al-Hallaj berkata: : “Barangsiapa mengira bahwa lahut berpadu jadi satu dengan nasut, ataupun nasut berpadu dengan lahut, maka kafirlah dia. Sebab Allah mandiri dalam Zat dan sifat-Nya, berbeda dengan zat dan sifat makhluk. Dan dia sama sekali tidak menyerupai makhluk-makhluk-Nya, dan mereka pun sama sekali tidak menyerupai-Nya”. Dan katanya pula: “…seperti halnya nasut-ku (kemanusiaanku) lebur dalam lahut-Mu (ketuhanan-Mu), tanpa berpadu dengan-Nya; lahut-Mu menguasai nasut-ku, tanpa berpadu dengannya.
                        Dari ungkapan-ungkapan di atas, ternyata paham hulul ini begitu kontradiktif. Terkadang hulul dinyatakan dalam bentuk penyatuan, namun di pihak lain dia renegasikan (meniadakan) penyatuan, dan secara tegas dia meniadakan segala macam bentuk atau unsur anthropomorphisme.
                        Thoulk seorang pemerhati al-Hallaj menginterpretasikan bahwa dia ketika menyatakan penyatuan berada dalam keadaan fana. Atau bisa juga dikatakan sebagai cara al-Hallaj  untuk menghadapi para fuqaha pada masa itu. Atau juga, seperti telah disebutkan di atas, diduga kuat bahwa hulul, menurut al-Hallaj berciri figuratif dan bukan riil.[4]
                        Para ulama maupun sarjana berbeda pendapat tentang hakikat ajaran hulul al-Hallaj ini. Al-Taftazani telah berusaha menampilkan beberapa pendapat tentang hal tersebut. Di dalam kesimpulannya dia mengatakan bahwa hulul al-Hallaj itu bersifat majazi, tidak dalam pengertian yang sesungguhnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Irfan Abd al-Hamid Fattah berpendapat bahwa paham “kesatuan wujud” telah mulai nampak sejak hadirnya Abu Yazid Al-Bustami dengan paham ittihad-nya. Dan paham hulul al-Hallaj ini, menurut al-Taftazani merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad yang diajarkan oleh Abu Yazid al-Bustami.
                        Ada dua hal yang perlu dicatat dalam paham hulul yang dikemukakan al-Hallaj . pertama, bahwa paham hulul  merupakan pengembangan atau bentuk lain dari mahabbah yang dibawa Rabiah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj . kedua, hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan  rohaniah yang dialami oleh Abu Yazid dalam ittihad, dengan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui hulul. Dalam persatuan melalui al-hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagaimana halnya dengan Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam faham al-Hallaj, dirinya tak hancur sebagai diungkapkan dalam syairnya tentang hulul di atas. Dengan kata lain, kalau dalam ittihad, yang dilihat oleh Abu Yazid hanya satu wujud yaitu Tuhan, maka dalam al-hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih Tuhan untuk ditempati.[5]



















BAB III
KESIMPULAN

                        Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj. Beliau dilahirkan pada tahun 244 H/858M. kakeknya, Muhammad seorang penyembah api pemeluk agama Majusi sebelum dia masuk Islam. Ada yang mengatakan, al-Hallaj berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
            Konsep ajaran al-Hallaj yang sangat fonumenal adalah mengenai konsep al-Hulul. Menurut etimologi, kata al-hulul adalah bentuk masdar dari fi’il: hall-yahull-hulûl yang berarti “bertempat di” atau “tinggal di”. Adapun menurut terminologi, al-hulul adalah ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiannya yang ada dalam tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.
            Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun menurutnya, mempunyai sifat kemanusiaan disamping sifat ketuhanan-Nya. Dengan dasar inilah maka persatuan antara Tauhan dengan manusia bisa saja terjadi. Dan persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj disebut dengan al-hulul (mengambil tempat).
            Paham al-Hallaj di atas didasari oleh konsep penciptaan Adam. Menurut al-Hallaj, Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam, Allah menjelma sebagaimana Dia menjelma (hulul) dalam diri Isa as. Paham bahwa Allah menjelma dalam diri Adam, berarti pula Allah menjadikan Adam sesuai dengan bentuk-Nya. Dengan kata lain, Adam itu adalah copy Tuhan.
            Dalam suatu sumber yang lain, disebutkan bahwa Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya telah hilang.
DAFTAR PUSTAKA

            http://darul-ulum.blogspot.com/2007/06/ittihd-hull-dan-wahdat-al-wujd.html, diakses                                pada tanggal 28 November 2010
            Isa, Ahmadi MA., 2001. Tokoh-Tokoh Sufi Teladan Kehidupan Yang Saleh, Jakarta: PT.                           Raja     Grafindo Persada.
            Suryadilaga, M. Alfatih, dkk., 2008. Miftahus Sufi, Yogyakarta: Teras.


                [1] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., Tokoh-Tokoh Sufi Teladan Kehidupan Yang Saleh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 157.
                [2] M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag, dkk., Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), 170-171.
                [3]http://darul-ulum.blogspot.com/2007/06/ittihd-hull-dan-wahdat-al-wujd.html, diakses pada tanggal 28 November 2010

                [4] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, MA., Tokoh-Tokoh Sufi,  162-163.
                [5] M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag, dkk., Miftahus Sufi, 174-175.

QADHA DAN QADAR


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Qadha dan Qadar merupakan rukun iman yang ke enam. Kita umat muslim harus benar-benar meyakininya, artinya setiap manusia (muslim dan muslimat) wajib mempunyai niat dan keyakinan sungguh-sungguh bahwa segala perbuatan makhluk, sengaja maupun tidak telah diteapkan oleh Allah SWT.[1]
            Pembicaraan mengenai qadha dan qadar merupakan suatu bahan diskusi yang tidak akan pernah selesai atau habis untuk dibahas oleh banyak kalangan dan juga tidak akan pernah ada suatu kesepakatan. Dalam persoalan qadha dan qadar kaum muslimin terpecah menjadi dua golongan yaitu golongan Jabbariyah dan golongan Qadariyah. Dan dalam makalah ini yang menjadi pokok pembahasan adalah takdir menurut golongan Qadariyah. Dari pembahasan makalah ini diharapkan kita semua bisa mendapatkan pemahaman yang bisa meningkatkan kadar keimanan kita kepada Allah SWT.

B.     Rumusan Masalah
1.      Sebutkan definisi Qadha dan Qadar dari berbagai segi?
2.      Apa saja ruang lingkup Qadha dan Qadar?
3.      Bagaimanakah takdir menurut Qadariyah?


BAB II
PEMBAHASAN

A.          Definisi Qadha dan Qadar
1.      Secara etimologi, qadha memiliki arti yaitu sebagai berikut:
a.       Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah:

(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]
b.      Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah:

 “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]
c.       Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat:

 “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]
Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78).
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini:

 “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10].
2.      Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).[2]
3.      Menurut Ulama Mutakallimin
a.       Golongan Asy’ariyah
Qadha adalah iradah Allah dalam azalnya berhubungan dengan segala hal dan keadaan, kebaikan atau keburukannya keadaan mana yamg sesuai dengan apa yang akan diciptakan Allah yang tidak akan berubah sampai terbuktinya iradah tersebut. Sedangkan Qadar adalah “mewujudkannya Allah” terhadap semua makhluk dalam bentuk tertentu, baik mengenai zat ataupun sifatnya dimana keadaan itu sesuai dengan iradah Allah.
b.      Golongan Maturidiyah
Qadha adalah mewujudkannya Allah terhadap sesuatu dengan serapi-rapinya dan sebaik-baiknya. Sedangkan Qadar adalah ilmu Allah tentang azalnya tentang akan terjadinya segala sesuatu dalam bentuk dan keadaan yang tidak akan menyimpang dari ilmu Allah tersebut.
c.       Golongan Mu’tazilah (Qadariyah)
Dalam memahami qadha dan qadar mereka memahami bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai subyek yang dapat menentukan perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak menghendaki adanya kemaksiatan dan kejahatan.
d.      Ahli filsafat
Qadha ialah ilmu Allah terhadap segala sesuatu, bagaimana seharusnya keadaan sesuatu itu terwujud dalam sebaik-baik bentuk dan sistem. Sedangkan Qadar adalah terbuktinya semua kejadian dan makhluk di alam sehingga benar-benar wujud, lengkap dengan sebab-sebabya serta sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh qadha Allah.[3]

B.           Ruang Lingkup Qadha dan Qadar
Dalam membahas Qadha dan Qadar, kita juga merasa perlu untuk membahas pula apa itu takdir dan juga nasib, apakah keduanya ini sama-sama dalam pendefinisian qadha dan qadar. Ataukah memiliki keterkaitan atau juga mungkin malah saling kontradiksi.
                      Jadi secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha merupakan hukum yang ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala tentang apa-apa yang akan terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang dan merencanakan sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan yang semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.[4]
                      Dari pengertian di atas, maka antara qadha dan qadar itu tidak terlalu berbeda, malah bisa dikatakan satu arti. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan hadis Nabi Muhammad, dimana penuturan qadha dan qadar bersama-sama dan kadang hanya menuturkan qadar saja, umpamanya:

           Artinya:
           Ilmu Allah Ta’ala dalam azalnya yang meliputi segala apa yang akan terjadi dan yang berhubungan dengan itu, dan yang sekiranya terjadi kelak pasti sesuai dengan apa yang telah diketahui dan yang telah ditentukan sejak semula oleh Allah.
                      Berikutnya  akan dijelaskan tentang takdir dan nasib
1)   Istilah takdir dapat kita temukan dalam Al-Quran surat al-Ra’d ayat 8:

           Artnya:
          
           Jadi kata Miqdarun dan taqdirun seolah  merupakan dua kata yang berbeda namun tersusun dari kata yang sama yaitu Qa-da-ra.yang artinya adalah rancangan.
           Jadi disini Allah telah menyatakan bahwa segala sesuatu adalah mempunyai rancangan masing-masing. Dan nanti akan dibuktikan juga dengan hadist yang mengatakan ”fil azali la syai’in illahi Azawajalla, tsumma khalaqal Maqadira” (Pada mulanya tidak ada apapun kecuali Allah dengan segala ilmunya, selanjutnya (dengan ilmunya itu) Allah membuat rancang bangun segala)
2)   Sementara nasib dapat kita jumpai pada al-Quran surat al-Nisa’ ayat 51:
          
           Artinya:
          
           Dari ayat tersebut sangat jelas bahwa kita mestinya dapat melihat akibat dari orang yang percaya dengan jibti dan thaagut, mereka akan menemukan nasib sial.   Jadi nasib adalah akibat dari pilihan hidup yang akan memastikan pada nasib baik (hidup dengan selain jibti dan taaghut) atau  dari pilihan hidup yang akan memastikan pada nasib sial (dengan pilihan jibti dan thaaghut).
                     Dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu itu tergantung rancangan masing-masing. Jadi takdir berdasarkan Quran  maupun hadis diatas berarti adalah suatu rancangan. Bahasa kerennya adalah Blue print. Allah sendiri dalam menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang kemudian membuat rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif. (Thummakhalaqal maqaadir, thumma khalaqal maa) Pada penciptaan ini,  Allah telah mengajarkan dengan menciptakan dari yang baik atau rancangan yang baik maka begitu juga kita sebagai manusia harus mengawali sesuatu itu dengan yang baik. (”ma khalaqta hadza batilan, tidak Aku ciptakan dari sesuatu yang batil).
                     Setelah kita menyadari bahwa sesuatu itu mempunyai rancangan (yang baik maupun yang buruk) maka Tugas Allah adalah sebagai Hakimun, yaitu Hakim penentu yang tidak pernah salah atas segala usaha yang dilakukan oleh Makhluq-Nya. Keputusan Allah ini tidak bisa diganggu gugat. Allah sebagai Penentu, dan manusia tinggal memilih rancangan mana yang mau diambil. Kalau manusia telah memilih mana rancangan yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah atas pilihan yang diusahakannya.[5]
                     Sementara itu dalam buku Mengubah Takdir karya Agus Mustofa, disebutkan takdir bukanlah nasib. Takdir adalah takdir, yang ditetapkan Allah berdasarkan usaha kita. Maka tujuan diajarkannya konsep takdir adalah agar kita profesional dalam menyikapi akibat perbuatan kita. Agar tidak gembira berlebuhan ketika mendapat rahmat. Dan agar tidak putus asa ketika gagal. Jadi tipikal orang yang mempercayai takdir adalah orang-orang yang menyeimbangkan kenikmatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi secara simultan.

C.          Takdir Menurut Qadariyah
Kata Qadariyah berasal qadara yang berarti berkuasa. Maksud berkuasa adalah mempunyai kekuasaan (qudrat). Tuhan disebut Qadir karena Dia mempunyai qudrat yang sangat besar dan dahsyat. Manusia bisa berbuat karena dalam dirinya juga terdapat qudrat.[6] Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri, berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama aliran yang memberi penekanan atas kebebasan. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia harus tunduk pada qadar Tuhan.[7]
Adapun doktrin yang dikembangkan oleh kaum Qadariyah ini diantaranya:
1.      Manusia mempunyai daya dan kekuatan untuk menentukan nasibnya, melakukan segala sesuatu yang diinginkan baik dan buruknya. Jadi surga atau neraka yang didapatnya bukan merupakan takdir Tuhan melainkan karena kehendak dan perbuatannya sendiri.
2.      Faham takdir dalam pandang Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum di pakai bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu ketentuan Allah yang di ciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Quran adalah sunatullah.[8]
3.      Secara alamiah manusia mempunyai takdir yang tak dapat diubah mengikuti hukum alam seperti tidak memiliki sayap untuk terbang, tetapi manusia memiliki daya untuk mengembangkan pemikiran dan daya kreatifitasnya sehingga manusia dapat menghasilkan karya untuk mengimbangi atau mengikuti hukum alam tersebut dengan menciptakan pesawat terbang.[9]
Jadi, secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa takdir itu tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada dirinya sendiri, barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri, serta siapa yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehendak Tuhan.[10]


BAB III
KESIMPULAN

a.       Definisi Qadha dan Qadar
            Secara etimologi, qadha berarti pemutusan, perintah, dan pemberitaan. Sedangkan qadar berarti penentuan. Sedangkan secara terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
            Sedangkan menurut ulama mutakallimin, dalam hal ini golongan Mu’tazilah (Qadariyah), yaitu dalam memahami qadha dan qadar mereka memahami bahwa manusia atau hamba Allah itu berdiri sebagai subyek yang dapat menentukan perbuatannya sendiri yang berupa perbuatan ikhtiyariah, sedang Allah itu tidak menghendaki adanya kemaksiatan dan kejahatan.
b.      Ruang lingkup dalam membahas qadha dan qadar maka dirasa perlu untuk juga menjelaskan takdir dan nasib.
            Jadi secara sederhana kita dapat memahami, bahwa qadha merupakan hukum yang ditetapkan Allah dalam azalinya semenjak dahulu kala tentang apa-apa yang akan terjadi di dunia dan akhirat, sementara qadar adalah merancang dan merencanakan sesuatu yang akan diperbuat dengan fikiran dan perhitungan yang semasak-masaknya dan seteliti-telitinya.
            Sedangkan takdir, berdasarkan Quran  maupun hadis berarti suatu rancangan. Bahasa kerennya adalah Blue print. Allah sendiri dalam menciptakan alam semesta ini bermula dari ilmu-Nya yang kemudian membuat rancangannya yang terdiri rancangan positif dan negatif.
            Dan nasib adalah ketika manusia telah memilih mana rancangan yang mau diambil dan kemudian mengusahakan atas pilihannya itu dengan mengerahkan segenap kemampuanya, maka pada waktunya akan menerima keputusan atau nasib. Jadi nasib adalah keputusan dari Allah atau kepastian dari Allah atas pilihan yang diusahakannya.
c.       Takdir menurut Qadariyah
            Secara tidak langsung Qadariyah adalah aliran yang berpendapat bahwa takdir itu tidak ada. Dan segala sesuatu itu tergantung pada diri sendiri. Jika ia berkehendak, maka ia dapat memberikan petunjuk pada dirinya sendiri, barangsiapa menghendaki juga dapat menyesatkan dirinya sendiri, serta siapa yang berkehendak, maka ia dapat menghinakan dirinya, dan siapa yang mengunginkan, maka ia akan mengantarkan dirinya kepada kebaikan. Semuanya itu kembali pada kehendak hamba itu sendiri dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehendak Tuhan.























DAFTAR PUSTAKA



 Abdul Mu’in, Taib Thahir. Ilmu Kalam, Jakarta: Widjaya
                                             Al-Jauziyah,Ibnu Qayyim. 2006.  Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah                                Takdir, Jakarta: Pustaka Azzam
                                            http://khofif.wordpress.com/2010/06/15/faham-qadariyah/diakses
 Zainuddin, H. 1996. Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta




                [1] Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 132.
                [2] http://www.dakwatuna.com/2008/iman-kepada-qadha-dan-qadar/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2010
                [3] Prof. K.H.M Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, (Jakarta: Widjaya, xxx),  225-226.
                [4] Ibid., 228.
                [5] http://nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/rakhma/2010/02/07/nasib-dan-taqdir/ diakses pada tanggal 31 Oktober 2010

                [6] Afrizal M., Ibn Rusyd 7 Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), 28-29.
                [8]Ibid.,
                [9] http://khofif.wordpress.com/2010/06/15/faham-qadariyah/diakses pada tanggal  31 Oktober 2010

                [10] Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Qadha dan Qadar Ulasan Tuntas Masalah Takdir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), xv.